Izin Reklamasi Teluk Jakarta Bermasalah, Ahok Sama Sekali Tidak Merasa Salah


BLOGGER - Kasus suap pembahasan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) reklamasi di Jakarta mengungkap rahasia lain. Sebelum pembahasan Raperda itu, ternyata Ahok sudah lebih dulu memberi izin kepada para konglomerat untuk menguruk laut di pesisir Jakarta. Izin ini agak aneh. Tapi, Gubernur Jakarta bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama ini tak sama sekali tak merasa bersalah.
  
Raperda yang dimaksud ada dua, yaitu Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Raperda Tata Ruang Strategis Jakarta Utara. Pembahasan Raperda ini dimulai sejak 2015. Dalam perjalanannya, ada suap dalam pembahasan ini. 

Pekan lalu, KPK pun sudah menetapkan tiga tersangka; Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi; Presdir PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, dan Personal Assistant Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro. Namun, sebelum pembahasan pembahasan Raperda ini, pada 23 Desemer 2014, Ahok lebih dulu meneken surat izin reklamasi.

Di sela pemantauan pelaksanaan ujian nasional di SMAN 30 di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, kemarin, Ahok ditanyai mengenai keanehan ini. Ahok pun langsung memberikan penjelasan panjang lebar. Dari mulai munculnya reklamasi, penolakan beberapa pihak, sampai munculnya kasus itu.

Ahok keukeuh mengaku tak salah atas izin yang diberikannya. Kata dia, sebelum Raperda Zonasi dan Raperda Tata Ruang, sudah ada Perda tahun 1995 mengenai reklamasi. "Sudah ada tahun 95. (Raperda) ini kan hanya revisi. Saya mau memasukkan uang tambahan kewajiban (bagi pengembang)," jelasnya.

Ahok tak mau pusing dengan penolakan dan kecurigaan yang muncul dari izin yang diberikan. Keputusannya sudah final. Dia berpegang kepada keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengizinkan reklamasi di lanjutnya.

"Pulau ini sudah pernah digugat tahun 2000-an oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Kemudian digugat balik termasuk oleh Pelindo, Jakpro, dan Ancol. Sebab Pulau N milik Pelindo sudah jadi, sudah mau dipakai New Tanjung Priok. Mereka gugat balik dan menang," jelasnya.

Dengan adanya putusan MA itu, kata Ahok, dirinya tidak bisa membatalkan reklamasi. Bukan itu saja, Pemprov DKI juga tidak punya kewenangan mengambil alir proyek tersebut. Maka, sebagai jalan keluarnya, dia memasukkan tambahan kewajiban yang harus disetor para pengembang ke Pemprov DKI sebesar 15 persen hasil penjualan tanah hasil reklamasi itu.

Untuk pihak yang menolak reklamasi itu, Ahok menantang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. "Anda bawa saja ke pengadilan dan bisa gugat, PTUN saya. Nggak usah berdebat di media. Masyarakat bingung baca pasal demi pasal. Kalau di pengadilan kelihatan ini yang salah," jelasnya.

Ahok berjanji, jika dalam gugatan itu Pemprov DKI kalah, dia akan mencabut izin reklamasi itu. Hanya saja dia meminta untuk setop dulu beropini di depan masyarakat. Apalagi peristiwa itu dikait-kaitkan dengan Pilkada DKI dan dirinya disebut telah melanggar aturan. "Siapapun yang nggak suka sama saya, lawan politik, kita bawa ke pengadilan," cetusnya.

Sebenarnya, beberapa teman Ahok sudah menyarankan agar memoratorium proyek reklamasi itu. Sebab, reklamasi itu akan menjadi amunisi baru bagi para musuh politik setelah sebelumnya menggunakan kasus pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras. Tapi, Ahok tetap membandel. Dia tidak akan mundur, karena merasa tidak pernah salah.

"Kalau orang (mengejar) politik aku bilang aja, 'eh media moratorium reklamasi pulau'. Apa saya nggak gendeng ngomong kaya gitu. Saya hanya ngomong dasar hukum. Bukan soal terpilih atau tidak. Teman-teman saya khawatir nanti orang yang nggak suka reklamasi, yang tadinya memilih jadi nggak milih. Ya sudah, itu risiko. Masak, demi dipilih saya melanggar undang-undang," terangnya.

Bagi Ahok, reklamasi adalah hal biasa. Pantai Ancol yang ramai saat ini juga hasil reklamasi di zaman Ali Sadikin. Kemudian, Dubai juga hasil reklamasi. 

Sebelumnya, pakar planologi Universitas Trisakti Dr Yayat Supriatna mengakui, dalam persoalan tata ruang di wilayah, ada dua aturan yang berlaku. Pertama, gubernur punya wewenang diskresi alias bebas mengambil keputusan sendiri. Kedua, harus ada aturan lebih dulu sebelum membuat keputusan.

Tapi, Yayat sedikit merasa aneh dengan diskresi Ahok yang sudah meneken izin reklamasi itu. Sebab, dasar diskresi tersebut tidak jelas. "Kita tidak tahu pertimbangannya apa. Ini yang harus dijelaskan Pemprov DKI. Sebab, diskresi juga harus jelas dasarnya," jelas Yayat.

Sementara, KPK akan terus menyelidiki pihak-pihak yang terlibat suap dalam pemabahasan dua Raperda tadi. KPK memastikan bahwa seluruh pihak yang terkait dalam pengusutan kasus itu akan dipanggil untuk diperiksa. Pemeriksaan juga akan dilakukan untuk seluruh anggota Baleg DPRD DKI. "Termasuk pihak swasta yang berkaitan dengan Raperda," kata Jubir KPK Yuyuk Andriati di kantornya, kemarin. [rmol]
Share on Google Plus

About Fatwa Pujangga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Post a Comment